Ujian Nasional (UN) 2012 menurut saya, suatu sikap ngotot dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atau suatu sikap pemaksaan kepada siswa untuk berbohong lagi dan berbuat curang lagi. Seharusnya, pemerintah sudah melakukan evaluasi secara keseluruhan akan keberlangsungan UN, sudah sampai di mana pencapaian dan proses perubahan mutu Pendidikan.
Oleh:
Benni Sinaga
Kalau pun pemerintah ingin melaksanakan UN, sebaiknya pemerintah bisa meyakinkan masyarakat atas dasar apa pemerintah tetap melakukan UN. Saya pikir, pemerintah tidak buta setelah melihat apa yang terjadi di dunia pendidikan kita serta di saat pelaksanaan ujian nasional. Ditambah lagi adanya penolan dari masyarakat. Saya jadi berpikir, apakah memang UN 2012 ini ajang peningkatan mutu pendidikan atau ajang proyek.
Seharusnya, pemerintah bisa membuktikan kepada masyarakat atau memberi perbandingan kepada masyarakat tentang kualitas sebelum Ujian Nasional dan setelah Ujian Nasional. Pemerintah harus memperbaiki sarana dan prasarana sekolah seluruh Indonesia. Melakukan perbaikan di sistem pendidikannya serta manajemen pendidikannya.
Jangan karena negara lain membuat UN, lantas kita juga ikut-ikutan buat UN. Kenapa negara lain bisa berhasil melaksanakan UN? Karena memang dari segi sarana dan prasarana sudah mantap, tenaga pendidik cerdas, moral masyarakat baik, dan sistem pendidikan bagus. Coba bandingkan dengan negara kita, di bagian mana kita mantap?
Beberapa tahun sudah negeri ini menyelenggarakan dan membuat UN menjadi syarat mutlak kelulusan siswa, yang katanya meningkatkan kualitas pendidikan dan mengembangkan pendidikan yang merata secara nasional. Berbagai usaha-usaha dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam peningkatan pendidikan, tetapi apa yang terjadi dan bagaimana kenyataan yang kita lihat atas penyelenggaraan Ujian Nasional? Memang pemerintah sudah melakukan kewajibannya, tetapi kewajiban yang bagaimana? Bagaikan mesin yang dihidupkan untuk membuat suatu produk yang sama, dibiarkan begitu saja tanpa di rawat dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mesin tersebut.
Demikian pula dengan penyelenggaraan UN ini. Pemerintah membuat Ujian Nasional menjadi standar kelulusan untuk menghasilkan produk pendidikan yang baik tanpa melihat fasilitas serta sarana dan prasarana.
UN dan Dampaknya
Penyelenggaraan UN sudah terlaksana beberapa tahun dan digunakan sebagai syarat mutlak kelulusan sekolah. Namun, masalah yang berdampak sistemik harus kita selesaikan, karena berdampak pada siswa, orangtua, guru dan kepala sekolah. Dimana kita lihat, dampaknya kepada siswa, timbulnya pemahaman yang keliru terhadap makna belajar di sekolah. Minar belajar siswa jadi menurun, hanya takut jika tidak lulus UN, hanya terfokus pada mata pelajaran yang di-UN-kan sehinggga mata pelajaran lain dianggap tidak perlu. Jika tidak lulus stres, bunuh diri, karakter hancur dan timbulnya mental korup, bohong dan mencuri serta berbuat curang.
Sedangkan dampaknya bagi orangtua, selalu salah kaprah terhadap pendidikan. Tidak lulus UN berarti gagal masa depan atau tidak berhasil, tidak memperhatikan karakter. Dampak UN bagi guru, konstruk berpikir guru dan kepala sekolah tentang hakekat atau substansi dari kegiatan pendidikan hanyalah sebatas mengantarkan peserta didik untuk lulus UN. Kalau banyak siswa yang tidak lulus, merasa tidak dihormati dan peluang mendapatkan penghargaan bahkan sampai identitas gurupun hilang.
Kalau dipikir, memang sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan yang mana tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas pasal 33).
Dengan penyelenggaraan UN sebagai syarat kelulusan, maka dapat dikatakan tujuan pendidikan tidak tercapai. Dengan melihat keadaan ini, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah UN sebagai standar kelulusan masih bisa dipertahankan? Mau dibawa ke mana generasi muda ini? Coba kita renungkan, apa yang dikatakan pakar pendidikan di bawah ini;
Lima puluh tahun dari sekarang, saat seluruh bangsa telah lengkap dicerdaskan melalui strategi dan standar UN, apa yang pasti terjadi? Jika konsep salah itu diteruskan, tak mustahil jutaan anak bangsa, sepi tapi pasti akan terbunuh sebelum mati. Kegairahannya, potensinya, aspirasinya, hak pribadinya, semua akan teratropi oleh UN. Kalau ini bukan kriminalisasi pendidikan, lalu apa? (Winarno Surakhmad-Pakar Pendidikan)
Solusi UN jangan dibuat menjadi standar kelulusan, tetapi kembalikan fungsinya sebagai alat “Pemetaan” (mapping). Ketika UN tidak dijadikan alat penentu kelulusan, maka pelaksanaan UN sekolah jelas akan lebih fair play dan jujur karena tidak ada rasa khawatir peserta didiknya tidak lulus. Kemudian yang menentukan lulus-tidaknya peserta didik, diserahkan kepada sekolah karena yang tahu keadaan peserta didik adalah pendidik yaitu guru di sekolah. Biarkan murid mengerti realitas hidup, tidak lepas juga pemerintah harus mengutamakan kepentingan siswa dan kualitas di atas kepentingan kepentingan peraturan dan pribadi.
Sumber : www.hariansumutpos.com
Oleh:
Benni Sinaga
Kalau pun pemerintah ingin melaksanakan UN, sebaiknya pemerintah bisa meyakinkan masyarakat atas dasar apa pemerintah tetap melakukan UN. Saya pikir, pemerintah tidak buta setelah melihat apa yang terjadi di dunia pendidikan kita serta di saat pelaksanaan ujian nasional. Ditambah lagi adanya penolan dari masyarakat. Saya jadi berpikir, apakah memang UN 2012 ini ajang peningkatan mutu pendidikan atau ajang proyek.
Seharusnya, pemerintah bisa membuktikan kepada masyarakat atau memberi perbandingan kepada masyarakat tentang kualitas sebelum Ujian Nasional dan setelah Ujian Nasional. Pemerintah harus memperbaiki sarana dan prasarana sekolah seluruh Indonesia. Melakukan perbaikan di sistem pendidikannya serta manajemen pendidikannya.
Jangan karena negara lain membuat UN, lantas kita juga ikut-ikutan buat UN. Kenapa negara lain bisa berhasil melaksanakan UN? Karena memang dari segi sarana dan prasarana sudah mantap, tenaga pendidik cerdas, moral masyarakat baik, dan sistem pendidikan bagus. Coba bandingkan dengan negara kita, di bagian mana kita mantap?
Beberapa tahun sudah negeri ini menyelenggarakan dan membuat UN menjadi syarat mutlak kelulusan siswa, yang katanya meningkatkan kualitas pendidikan dan mengembangkan pendidikan yang merata secara nasional. Berbagai usaha-usaha dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam peningkatan pendidikan, tetapi apa yang terjadi dan bagaimana kenyataan yang kita lihat atas penyelenggaraan Ujian Nasional? Memang pemerintah sudah melakukan kewajibannya, tetapi kewajiban yang bagaimana? Bagaikan mesin yang dihidupkan untuk membuat suatu produk yang sama, dibiarkan begitu saja tanpa di rawat dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mesin tersebut.
Demikian pula dengan penyelenggaraan UN ini. Pemerintah membuat Ujian Nasional menjadi standar kelulusan untuk menghasilkan produk pendidikan yang baik tanpa melihat fasilitas serta sarana dan prasarana.
UN dan Dampaknya
Penyelenggaraan UN sudah terlaksana beberapa tahun dan digunakan sebagai syarat mutlak kelulusan sekolah. Namun, masalah yang berdampak sistemik harus kita selesaikan, karena berdampak pada siswa, orangtua, guru dan kepala sekolah. Dimana kita lihat, dampaknya kepada siswa, timbulnya pemahaman yang keliru terhadap makna belajar di sekolah. Minar belajar siswa jadi menurun, hanya takut jika tidak lulus UN, hanya terfokus pada mata pelajaran yang di-UN-kan sehinggga mata pelajaran lain dianggap tidak perlu. Jika tidak lulus stres, bunuh diri, karakter hancur dan timbulnya mental korup, bohong dan mencuri serta berbuat curang.
Sedangkan dampaknya bagi orangtua, selalu salah kaprah terhadap pendidikan. Tidak lulus UN berarti gagal masa depan atau tidak berhasil, tidak memperhatikan karakter. Dampak UN bagi guru, konstruk berpikir guru dan kepala sekolah tentang hakekat atau substansi dari kegiatan pendidikan hanyalah sebatas mengantarkan peserta didik untuk lulus UN. Kalau banyak siswa yang tidak lulus, merasa tidak dihormati dan peluang mendapatkan penghargaan bahkan sampai identitas gurupun hilang.
Kalau dipikir, memang sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan yang mana tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas pasal 33).
Dengan penyelenggaraan UN sebagai syarat kelulusan, maka dapat dikatakan tujuan pendidikan tidak tercapai. Dengan melihat keadaan ini, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah UN sebagai standar kelulusan masih bisa dipertahankan? Mau dibawa ke mana generasi muda ini? Coba kita renungkan, apa yang dikatakan pakar pendidikan di bawah ini;
Lima puluh tahun dari sekarang, saat seluruh bangsa telah lengkap dicerdaskan melalui strategi dan standar UN, apa yang pasti terjadi? Jika konsep salah itu diteruskan, tak mustahil jutaan anak bangsa, sepi tapi pasti akan terbunuh sebelum mati. Kegairahannya, potensinya, aspirasinya, hak pribadinya, semua akan teratropi oleh UN. Kalau ini bukan kriminalisasi pendidikan, lalu apa? (Winarno Surakhmad-Pakar Pendidikan)
Solusi UN jangan dibuat menjadi standar kelulusan, tetapi kembalikan fungsinya sebagai alat “Pemetaan” (mapping). Ketika UN tidak dijadikan alat penentu kelulusan, maka pelaksanaan UN sekolah jelas akan lebih fair play dan jujur karena tidak ada rasa khawatir peserta didiknya tidak lulus. Kemudian yang menentukan lulus-tidaknya peserta didik, diserahkan kepada sekolah karena yang tahu keadaan peserta didik adalah pendidik yaitu guru di sekolah. Biarkan murid mengerti realitas hidup, tidak lepas juga pemerintah harus mengutamakan kepentingan siswa dan kualitas di atas kepentingan kepentingan peraturan dan pribadi.
Sumber : www.hariansumutpos.com
0 comments
Post a Comment